Follow Me

Monday, October 23, 2017

Masuk ke Sela-sela Pikiranku

Bismillah.

#random #selftalk

*warning* abstrak, selftalk, curhat

Aku kira, satu momen kecil yang cuma beberapa detik itu tidak berefek pada hati dan pikiranku. Tapi ternyata, aku tidak bisa membohongi diriku. Ada efeknya. Ah.. I'm not talking about love, just in case somebody interpret it the wrong way.

Saat itu aku dengan temanku sedang berjalan, kami mengobrol, senyum ada di bibirku. Kulihat beliau berjalan menuju arahku, dengan sopan, aku berusaha tersenyum, meski sejujurnya aku ingin pergi saja menghilang. Tak ada respon. Aku mengangguk kemudian menggumam pelan. Wajahnya datar, dahinya berkerut mungkin karena memikirkan hal lain. Sudah selesai.

Setelah melewatinya, temanku bertanya, siapa. Aku jawab. Saat itu jumat sore, aku mungkin saat itu berusaha fokus menjalani obrolan dan pertemuanku dengan teman, fokus ke persiapan pulang ke Purwokerto. Ingin curhat ke sohib di Kendal, tapi akhirnya memilih urung.

Satu dua tiga hari, hampir empat hari aku tidak menulis. Ada banyak ide, tapi sebenarnya yang memenuhi pikiranku bukan ide-ide lain, melainkan situasi beberapa detik itu, momen pendek itu.

Saat itu, sampai saat ini aku masih berusaha berprasangka baik. Mungkin gagal, atau hampir gagal. Ya.. aku masih berusaha untuk tidak overthinking, tapi jujur.. pikiran itu beranak pinak, menyesaki otakku.

Pertama, mungkin beliau sedang sibuk dan pusing memikirkan banyak urusan, orang sibuk. Kedua, adalah hal wajar kalau beliau lupa dan tidak mengingatku, sebagaimana banyak yang lupa padaku, namun aku ingat pada orang tersebut. Ketiga, aku pernah menjadi yang seperti itu... yang kaki berjalan dan mata memandang kedepan, namun pikiran berlari kesana-kemari, membuat satu dua orang yang menyapa tak kusadari, atau beberapa orang yang berpapasan seolah tak ada di sana.

from unsplash
***

Sebenarnya, hari itu.. dan hari sebelumnya, aku sengaja meninggalkan milestone yang seharusnya aku kerjakan. Draft suratnya sudah aku buat, namun aku belum berani menyalinnya satu persatu, membungkusnya dengan amplop, dan menyerahkan suratnya secara langsung, atau menitipkan ke seseorang (pak pos atau siapapun) untuk mengirimkan suratnya.

Lalu pikiran tentang satu kejadian singkat itu beranak pinak lagi. Mungkin lebih baik seperti itu, lebih baik diabaikan saat tanpa sengaja berpapasan. Ketimbang, diabaikan saat sengaja bertemu untuk menyerahkan surat. Rasa 'sakit' penolakannya jauh lebih ringan yang aku alami, ketimbang yang aku khawatirkan aku alami. Maybe it's better that way. Pertemuan singkat, bukan pertemuan, cuma papasan singkat itu.. pasti ada hikmahnya kan? Allah tidak mungkin menuliskannya dalam takdir hariku tanpa tujuan kan? Aku cuma perlu lebih teliti mencari hikmahnya kan?

Mungkin hikmahnya, artinya.. aku tidak boleh menunda target milestone yang sudah aku buat. Toh sudah ada draft, apa sulitnya menyalinnya menjadi tiga surat? Jika tidak berani menyerahkan langsung, apa sulitnya, menulis alamat lengkap dan ke kantor pos? Jika merasa tulisan tangan tidak formal, apa sulitnya mengetik dan menge-print?

***

Hari ini.. pikiran itu tidak berhenti beranak pinak. Meski aku mengira satu kejadian singkat itu tidak memberi efek pada hati dan pikiranku. Nyatanya aku tidak bisa bohong. Curhat ke teman mungkin bukan solusi, mengingat aku merasa terlalu banyak bicara tentang diri setiap kali kesempatan menjalin silaturahmi itu datang. Padahal harusnya tidak begitu .. hmm.. masih belajar menjadi teman yang baik.

Mau nulis di diary, juga takut berakhir di curhat tanpa mencari solusi. Semoga di sini bisa sedikit meredakan pikiran yang terus beranak pinak. Semoga menulis di sini, bukan bentuk keluhan. I wish no one read it but me.

***

Hari ini, pikiran itu tidak berhenti beranak pinak. Aku teringat sebuah pertemuanku dengan beliau. Saat itu, aku sering menangis, mendengar wejangannya, meski aku akhirnya tidak bisa memenuhi dan menjalankan sarannya. Saat itu beliau berkata, bahwa jika bukan untukku, seharusnya aku termotivasi bergerak untuk orang lain, untuk x, untuk y, untuk z. Karena aku bergerak atau memilih diam, tidak hanya memberikan efek pada diriku, tapi juga pada banyak orang, pada x, pada y, juga pada z.

Lalu satu kata negatif itu terngiang lagi. Seolah menebalkan label di dahiku. Ya, benar, aku benar-benar jahat. Bukan jahat kata yang tepat, tapi minimal izinkan aku menuliskannya secara umum, karena yang spesifik menjadikan tulisan ini tidak abstrak.

Jujur rasanya ... bagaimana rasanya ya, saat kau mengetahui kualitas buruk dirimu. Harusnya, mindset-nya adalah.. jika memang aku seperti itu, yang harus aku lakukan adalah memperbaiki diri. Tapi mindset positif itu .. aku masih perlu banyak belajar.

Di lain sisi, aku tidak bisa memungkiri aku pernah dan mungkin masih bermindset negatif. Rasanya ingin menghakimi diri sendiri. Jahat, sangat jahat. Tapi ga boleh begitu kan? Hehe ^^

***

Bismillah. Semoga Allah menguatkan diriku, menjagaku, membimbingku. Kalau sebuah dosa, bukan hanya tentang aku dan Allah, tapi juga menyangkut orang lain.. maka taubatnya bukan sekedar urusanku dengan Allah. Semoga aku diberikan keberanian untuk menyelesaikan urusan milestone surat, ya, surat itu. Surat permohonan maaf dan terimakasih. Mungkin suratnya tidak berarti, mungkin sudah dimaafkan, tapi untukku.. setidaknya untuk ketenangan hatiku, *boleh ga sih niat ini??. Bolehkah untuk tujuan itu, aku harus mengirimkan perasaan bersalah dan memohon maaf, juga berterimakasih. Terlepas dari sampai atau tidak suratnya, terbaca atau tidak suratnya, terlepas dari beliau mengingatku atau tidak. Kewajibanku, untuk diriku, untuk ketenangan hatiku, adalah meminta maaf, atas begitu banyak salah yang aku perbuat. Ya kan? *tanya sama siapa bell? wkwkwk

***

Aneh memang, bagaimana momen kecil, kejadian beberapa detik bisa masuk ke sela-sela pikiranku. Berusaha aku usir, dengan prasangka baik. Tapi ternyata, ia masih menetap. Karena mungkin hikmahnya bukan sekedar aku harus berprasangka baik. Mungkin ada banyak hikmah lain yang harus kutemukan, tapi bukan sekedar kutemukan, tapi menanti perubahan sikap dan mindsetku.

Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu alla ilaha illa anta astaghfiruka wa atubu ilaih.

Allahua'lam.

***

PS: 231117 | Satu bulan kemudian. Baru bisa mengirim surat-surat tersebut. Awalnya berniat di print dan dikirim via pos. Akhirnya dikirim via email. Rasanya di sini.. sesuatu banget, lega tapi juga penasaran. Apakah paragraf-paragraf tersebut akan terbaca, apakah akan ada respon? Mari berprasangka baik saja, sembari berdoa, jikapun suratnya tidak terbaca, semoga niatnya sampai.

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya