Follow Me

Tuesday, July 19, 2011

Ramah? Would that be me?

Bismillahirrahmanirrahim..



Ini memang bukan pertama kalinya aku dikejutkan tentang betapa orang yang kuanggap asing, bisa begitu ramah padaku. Tapi tetap saja aku berhasil dibuatnya terpaku sejenak, otakku berputar pelan lalu menemukan wajahnya di deretan memori wajah teman sekelasku. Ya.. dia memang teman sekelasku, baru dua hari (mungkin) kami bertemu, tapi dia tanpa ragu memanggil namaku, menyapaku. “Isabella, lagi ngapain?” ucapnya kala itu. Bug! Seolah ada beban 1 ton jatuh menimpaku. Aku bahkan tidak ingat siapa namanya. Sekali lagi! Aku dibuat merasa bersalah karena keramahan orang lain.


Kira-kira seperti itulah gambaran kejadian lampau yang membuatku sadar, betapa aku –sungguh begitu- jauh dari sikap ramah seperti yang ditunjukkan orang tersebut di atas. Sebuah intropeksi sendiri buatku, yang lebih sering memilih diam dan pura-pura tak lihat kalau bertemu orang yang belum akrab denganku, apalagi yang baru kukenal. Aku harus belajar lebih banyak lagi, membenahi diri agar menjadi pribadi yang ramah.


Sebentar lagi kita akan memasuki tahap kehidupan yang baru (dunia perkuliahan). Akan bertemu banyak orang dari segala penjuru Indonesia, bahkan dari luar Indonesia. Tentu saja, agar bisa beradaptasi dengan baik, kita harus bisa bersosialisasi dengan baik, which is mean.. we have to be a friendly person (baca: orang yang ramah, bener ga bahasa inggrisnya?).


How? Bagaimana caranya? Berdasarkan observasi dan analisisku, ini sedikit hasilnya :

1. Be the first.

Buang jauh-jauh rasa sombong atau gengsi. Tak ada salahnya angkat suara lebih dulu dan bertanya nama. Jabat tangannya, tersenyumlah, sebut namamu dan ingatlah namanya. Kalau dia ngomongnya kurang jelas, jangan sungkan meminta dia mengulang namanya. (Haha  jadi keinget pelajaran bahasa inggris jaman SD, “spelling name”, kalau perlu kenapa tidak. Aku sendiri selalu risih melihat orang lain salah menulis namaku. It’s Isabella, neither Isabela nor Issabela)
# tambahan : jangan pernah takut dibilang sombong hanya karena kita tidak menyambut uluran tangan dia yang bukan mahram kita.  tetap be yourself. Prinsip adalah prinsip. Baru kenal atau sudah kenal, sebagai muslim yang baik kita tau hukumnya. Percayalah, mungkin mereka akan menyernyitkan dahi. Heran. Tapi hanya sebatas itu. They will understand. Believe me!

2. Mengingat nama, penting.

Kamu sudah berjabat tangan, saling menyebut nama masing-masing... tapi setelah dia –si teman baru- sudah agak jauh, kamu lalu berbisik pada teman sebelahmu “Siapa tadi nama dia?”. Waduh... ini nih penyakit orang baru kenalan (terutama saya); hanya formalitas, basa-basi agar tak terkesan sombong. Mengingat nama itu penting, seseorang akan merasa senang ketika orang lain –baik yang baru dikenal, maupun yang sudah lama kenal- memakai namanya sebagai kata sapaan, ‘nama’, bukan ‘kamu’, ‘loe’ atau kata sapaan lain. Nggak percaya? Buktikan sendiri!

3. Appreciate diversity.

Jangan sekali-kali menatap orang dari atas sampai bawah, lalu mengekspresikan keheranan di wajahmu karena penampilan atau gaya dia yang berbeda –kalau tidak bisa dikatakan aneh-. Juga, jangan tertawakan logat atau bahasa daerah orang lain. Karena bisa jadi mereka juga terbahak mendengar gaya dan logat bicara kita. Intinya.. hargai keanekaragaman. Berbeda itu indah.

4. Listen more, talk less.

“Berceritalah tentang diri,” kata Salim A. Fillah “tapi tak usah banyak-banyak. Sebab yang cinta tak memerlukan, yang benci tak akan percaya”. Semua orang memang lebih suka didengarkan ketimbang mendengarkan (bener ga?), walaupun sebenarnya kita –dan semua orang- diciptakan untuk lebih banyak mendengarkan ketimbang berbicara (itulah mengapa kita diberi sepasang telinga dan hanya sebuah mulut). Biarkan mereka yang lebih banyak bercerita tentang diri mereka, tahan sedikit ego yang ingin bercerita tentang diri dari A sampai Z. Kalaupun mereka –yang kita ajak bicara – adalah seorang yang pendiam, kita bisa memancing mereka dengan ‘sedikit’ kisah kita, kemudian lanjutkan dengan pertanyaan “how about you?”.

5. Senyum, salam, sapa

Beri senyum ketika berpapasan, jika sempat ucapkan salam (salam terbaik yang mengandung doa : Assalamu’alaikum wr.wb). Kalau masih ada waktu.. sapa sejenak, pertanyaan kecil seperti “sedang apa?”, “mau kemana?”, lalu akhiri dengan “Duluan ya!”.

# tambahan : hati-hati! Terutama senyum, salam dan sapa pada mereka yang bukan mahram kita. Pernah baca dimana (aku lupa), ‘Senyum mu kepada saudaramu adalah sedekah, senyum kepada semua orang adalah petaka’. Aku dibuat mikir lama gara-gara kalimat tadi, kenapa bisa gitu? Akhirnya aku sadar, kalau senyum pada semua tak selalu baik akibatnya, terutama pada lawan jenis –yang bukan mahram kita-. Gimana enggak, awalnya si ‘dia’ biasa aja sama kita, tapi tiap ketemu kita selalu ngasih senyum manis, belum lagi sapaan dan keramahan lain. Lama-lama si ‘dia’ jadi GR kalau kita ada ‘rasa’ ke ‘dia’. Ya kalau emang beneran ada, kalau enggak? Apa bukan nyakitin namanya, hati orang dijadiin layangan (ditarik-ulur, membuat ia merasa ia bisa terbang ke angkasa). Maksud hati ingin berbuat baik, eh malah nyakitin hati orang. Waduh! Bukan nambah temen malah nambah musuh. Nggak mau kan? Kesimpulannya, untuk mereka yang bukan mahram kita: nggak perlu terlalu ramah. Beri saja kesan pertama kalau kita ramah, selanjutnya seperlunya saja. Senyum-sapa tiap ketemu, nggak bisa masuk dalam hitungan ‘seperlunya’.

Ramah? Would that be me? Semoga saja iya..  (NB : kalau ada yang mau nambahin silahkan nambahin di komentar.)

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya